Kamis, 28 September 2017

Mengenal CGI di Hollywood dan di Indonesia



Sudah menjadi hal umum bahwa film bioskop zaman sekarang sudah menggunakan efek-efek yang canggih dan penggunaan perangkat pendukung lainnya. karena banyaknya kecanggihan teknologi yang di gunakan dalam proses pembuatan film, membuat banyak remaja yang berbondong-bondong datang ke bioskop untuk menonton film kesayangan nya, hal tersebut sudah menjadi sebuah tren di kalangan remaja. Baik di dalam negri maupun di luar negri, contoh penggunaan teknologi di bidang sinema/film yang di gunakan oleh marvel yang menceritakan tentang super hero yang melindungi bumi dengan kekuatannya, di film tersebut banyak sekali efek-efek yang digunakan salah satunya adalah CGI (Computer Generated Imagery) yang mampu membuat objek 3D beserta efek dan animasinya.

CGI merupakan tehnik penerapan teknologi komputer grafik untuk pembuatan efek kusus (special effect) dalam film. Perangkat lunak (software/program) komputer yang biasanya digunakan dalam penerapan CGI antara lain 3ds Max, Blender, Light Wafe 3D, Maya, dan Autodesk Softimage. Computer-Generated Imagery (CGI; bahasa Indonesia: “pencitraan yang dihasilkan komputer”) adalah penggunaan grafik komputer (atau lebih tepatnya, grafik komputer 3D) dalam efek spesial. CGI digunakan dalam film, acara televisi dan iklan, dan juga media cetak. Permainan video umumnya menggunakan grafik komputer waktu-nyata (jarang disebut sebagai CGI), namun juga sering menggunakan “adegan tengah” (cutscene) yang telah dirender dan film-film pembuka yang mirip dengan penggunaan CGI. Ini dinamakan Full Motion Video (FMV).

Banyak sekali adegan-adegan yang di gunakan oleh produser film dalam pembuatan film dengan menggunakan CGI. Contohnya seperti adegan air laut terbelah dan membentuk gelombang setinggi menara tertinggi di dunia. akibat tumburan meteor sebesar kota New York dan siap menyelimuti kota terbesar di dunia dan merobohkan gedung-gedung pencakar langit dalam film Deep Impact yang begitu realistis membuat kita bertanya-tanya bagaimana proses pembuatannya? Begitu juga dengan adegan kota yang tertutup badai salju dalam film The Day After Tomorrow. Ada yang menebak dibuat miniatur kecil yang semirip mungkin dengan aslinya kemudian disiram dengan air sehingga terlihat seperti adegan-adegan spektakuler, itu adalah hasil dari teknologi komputer grafis yang membantu berbagai macam hal yang terlalu mahal dan tak mungkin untuk dibuat dalam film, iklan dan video games menjadi nyata. Teknologi visual effect pada berbagai macam software 3 dimensi dan software-software pendukung lainnya yang membuat kita terhenyak ketika menyaksikan adegan seolah-olah bumi mengalami kiamat. Di negara-negara barat teknologi canggih atau yang kini sering disebut dengan CGI mulai diaplikasikan pada bidang fotografi. Berbagai obyek yang terlalu sulit atau mahal dibuat dengan fotografi diciptakan melalui CGI.

Contoh diatas merupakan adegan-adegan dari film yang dibuat oleh Negara lain, bagaimana dengan di Indonesia? apakah Indonesia  belum bisa membuat film dengan CGI seperti Hollywood?
Jawaban nya adalah sudah banyak film CGI hasil buatan dalam negri, tetapi untuk penggunaan nya sendiri masih tergolong rendah hanya beberapa adegan saja yang menggunakan CGI, tidak seperti film buatan Hollywood yang hampir seluruhnya menggunakan CGI.

Berikut ini buktinya kalau film Indonesia juga ada yang memakai efek CGI.
Bangkit merupakan film yang bertema bencana alam banjir yang melanda Jakarta terus-menerus. Adegan akan disertai dengan badai Laluna yang mengarah dari Australia menuju Jakarta.
Bencana tersebut diperparah dengan jebolnya bendungan katulampa, yang mengakibatkan Jakarta semakin tenggelam dan hancur. Kemudian ada film berGenre komedi Comic 8: Casino Kings Part 1 (2015) dan Part 2 (2016) yang digarap sutradara kondang Anggy Umbara dan masih banyak lagi film yang di buat oleh produser di Indonesia.
Semoga kedepannya Indonesia mampu membuat film sekelas Hollywood dan terus berkembang lagi.



SUMBER:

http://nanto88.blogspot.co.id/2012/03/teknologi-cgi-dalam-film-apa-itu-cgi.html

https://www.dream.co.id/lifestyle/film-ini-gunakan-teknologi-cgi-pertama-di-indonesia-keren-160719b.html

Selasa, 26 September 2017

Perkembangan Sinema dari Konvensional ke Digital





Seperti yang dapat kita lihat, dizaman modern ini banyak sekali film yang di buat dengan teknologi yang canggih, mulai dari resolusi layar yang sudah ultra high definition, suara  yang lebih jernih dan grafik yang lebih halus, serta efek 2D,3D dan 4D. semua itu di kembangkan berkat ada nya teknologi modern.
Dahulu sebelum teknologi modern berkembang, Seorang sutradara film, George Lucas mengatakan bahwa film yang berkembang pada abad ke-19 dikembangkan dari sebuah fotografi melalui media yang menggunakan pita seluloid untuk menangkap dan merekam gambar. Pada akhir abad ke-19 sampai akhir abad ke-20 telah ditemukan pengganti pita seluloid untuk menampilkan cara penggarapan baru dunia film yaitu sinema digital. Sinema digital adalah semua konsep, sebuah system yang lengkap dimana meliputi seluruh rantai produksi film dari akuisisi yang berhubungan dengan kamera digital dan pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat bagaimana kerja dasar teknologi dan dampak dari munculnya sistem digital. Dalam 20 tahun terakhir ini, teknologi digital, teknik dan estetika visual memiliki pengaruh yang besar dalam setiap tahap pembuatan dan pendistribusian film.

Proses pembuatan film merupakan produksi film yang masih secara tradisional yang menggunakan 35mm atau 70mm film kamera dengan pita seluloid, yang mana memiliki kualitas gambar yang lebih rendah bila dibandingkan dengan proses pembuatan film yang menggunakan teknologi digital. Kemudian film dimanipulasi dengan menggunakan komputer pada pasca produksi. Dalam teorinya, digital film dimulai pada akhir tahun 1980an, ketika Sony menggunakan konsep sinematografi elektronik, yang mana inisiatif itu gagal. Pada akhir tahun 1990an diperkenalkan HDCAM dengan mengganti dari proses sinemtografi digital untuk membuat film menggunakan kamera digital. High-end kamera menggunakan sensor tunggal yang ukurannya sama seperti film 35mm frame seperti kamera film konvensional. Pengambilan gambar dalam format HDTV progresif memberikan gambar 720 x 1080 pixel dan hasilnya adalah filmis daripada televisual saat gambar di tangkap/direkam. Pada pertengahan 1990-an Sony DCR-VX1000 MiniDV menjanjikan kualitas gambar yang cukup baik untuk film yang biayanya rendah secara digital. Perbedaan kamera high-end dan MiniDV yaitu, kamera high-end menggunakan kompresi untuk mengurangi ukuran file, sedangkan sistem MiniDV menggunakan tingkat kompresi yang tinggi dan mengurangi kualitas gambar untuk penyimpanan ukuran.



Kosekuensi dari meningkatnya penggunaan teknik komputer ini adalah pencitraan dalam pembuatan film dimana keseimbangan antara produksi (film dari adegan yang merupakan narasi dari film)  dan pasca produksi (seperti membersihkan foto, penambahan analog efek digital dalam gambar-gambar awal yang dimasukan). Film yang ada direkam sebagai film data pada hard disk dan memori flash dengan menggunakan sistem RAID ( Redundant Array of Inexpensive / Drives independen / disk). Dalam pembuatan film kontemporer pun, periode pasca produksi umumnya jauh lebih lama dari masa produksi disebabkan karena sebagian besar gambar dari hasil akhir adalah hasil kerja dilakukan dalam pencitraan yang dihasilkan komputer dan CGI editing.Dari sejarahnya, CGI memiliki kualitas gambar yang kasar, Kualitas CGIS yang muncul jauh berbeda dengan visual dari objek yang secara dunia nyata telah di foto dengan menggunakan seluloid (tradisional). Konsekuensi dari kualitas visual yang berbeda ini, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menggunakan CGI biasanya muncul pada layar untuk jangka waktu yang lebih pendek dari gambar nyata.



Fase teknologi audiovisual tertentu tidak kompatibel diantara kompresi dan sistem server yang mana berarti bahwa film-film sekarang ini harus didistribusikan dalam berbagai bentuk. Pada Maret 2002, ‘Digital Cinema Inisiatives’ telah dibentuk oleh studio besar, seperti : Disney, Fox, MGM, Paramount, Sony Pictures, Universal dan Warner  untuk mengembangkan spesifikasi arsitektur terbuka untuk sinema digital yang dapat diambil oleh semua pihak industri. Yang mana versi 1.1 telah dirilis pada April 2007. Inisiatif lain ‘Digital Cinema Implemention Partner’ (DCIP) dibentuk oleh AMC, Cinemark dan Regal Cinema Chains. Mereka merencanakan untuk menggunakan proyeksi dan server digital di seluruh bioskopnya sejak tahun 2008.



Biaya untuk mengkonversi sinema dari seluloid menjadi proyeksi digital sangatlah tinggi, lebih dari $150,000 per layar. Tetapi sebagai proses digital, menjadi semakin ada dimana-mana di seluruh fase dari industri perfilman. Beberapa prediksi awal, diperkirakan konversi menjadi pameran digital akan selesai pada tahun 2012, meskipun masih melambatnya dalam beberapa tahun terakhir, sehingga melemparkan banyak pertanyaan dari tanggal tersebut.

Namun era sulit tersebut sudah lah berakhir, pada zaman sekarang dimana teknologi hamper dapat di jumpai di kehidupan kita sehari hari, mulai alat komunikasi, kendaraan hingga alat untuk memproduksi sebuah film pun sudah jauh berkembang sebelum adanya teknologi modern. berikut ini teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan sebuah film:


Rekaman Digital
Pada 2009, media akuisisi yang paling umum untuk fitur digital diproyeksikan adalah 35 mm film dipindai dan diproses pada 2K (2048 × 1080) atau 4K (4096 × 2160) resolusi melalui digital intermediate [rujukan?]. Sebagian besar fitur digital sampai saat ini ditembak di 1920x1080 resolusi HD menggunakan kamera seperti CineAlta Sony, Panavision Kejadian atau Thomson Viper. kamera baru seperti Alexa Arri dapat menangkap 3,5 K resolusi gambar, dan Red Camera Digital Cinema Perusahaan Merah Satu dapat merekam 4K. Pangsa pasar dari proyeksi 2K di bioskop digital lebih dari 98%. Saat ini dalam pembangunan kamera lain mampu merekam RAW 4K, seperti Dalsa Corporation Asal dan Canon 4K "Serbaguna", dan mampu rekaman 5K, seperti EPIC RED kamera, dan kamera mampu merekam 3K (bagi para pembuat film anggaran) seperti yang RED Scarlet.



Pasca Produksi Digital
Dalam proses pasca-produksi, negatif film kamera-asli (film yang secara fisik berlari melalui kamera) dipindai ke dalam format digital pada scanner atau telecine resolusi tinggi. Data dari film kamera digital mungkin akan diubah ke format file gambar dengan nyaman untuk bekerja di fasilitas. Semua file tersebut 'sesuai' untuk mencocokkan suatu mengedit daftar yang dibuat oleh editor film, dan kemudian warna dikoreksi di bawah arahan staf film. Hasil akhir pasca-produksi adalah perantara digital yang digunakan untuk merekam gambar gerak untuk film dan / atau untuk rilis sinema digital.

Digital Mastering
Ketika semua gambar, suara, dan elemen data dari sebuah produksi telah selesai, mereka mungkin dirakit Perjanjian Penyaluran Digital Cinema Master (DCDM) yang berisi seluruh bahan digital yang dibutuhkan untuk proyeksi. Gambar dan suara kemudian dikompresi, dienkripsi, dan dikemas untuk membentuk Digital Cinema Paket (DCP).

Proyeksi Digital
Saat ini ada dua jenis proyektor untuk sinema digital. Awal DLP proyektor, yang digunakan terutama di Amerika Serikat, digunakan terbatas resolusi 1280 × 1024 atau setara dengan 1,3 MP (megapiksel). Mereka masih banyak digunakan untuk iklan pre-show tapi tidak biasanya untuk presentasi fitur. Spesifikasi DCI untuk proyektor digital panggilan untuk dua tingkat pemutaran harus didukung: 2K (2048 × 1080) atau 2,2 MP pada 24 atau 48 frame per detik, dan 4K (4096 × 2160) atau 8,85 MP pada 24 frame per detik.




SUMBER

https://dessynathalia.wordpress.com/2015/10/23/sejarah-sinema-digital/
http://hendrawan1.blogspot.co.id/2010/10/teknologi-digital-cinema.html

Pengertian dan jenis proyektor sinema digital










dalam blog ini saya akan menjelaskan sedikit tentang sinema digital

apa sih sinema digital?

Sinema Digital adalah sebuah tayangan/video yang menggunakan teknologi modern sehingga gambar yang dihasilkan jauh lebih jernih dan kualitas suara yang lebih bagus. Di bandingkan dengan sinema konvensional yang masih menggunakan media pita seluloid dimana masih memiliki struktur visualisasi gambarnya berupa titik-titik dan menggunakan sistem suara surround, tetapi kualitas suara yang dihasilkan jauh berbeda dengan sinema digital. 
Selain itu dari segi proyektor yang digunakan digital sinema memiliki dua jenis proyektor yaitu proyektor DLP (Digital Light Processing) dan DCI (Digital Cinema Initiative). Proyektor DLP pertama kali dikembangkan oleh perusahaan Texas Instrument. Ada tiga pabrik yang telah memiliki lisensi untuk memproduksi teknologi sinema DLP yaitu Christie Digital Systems, Barco, dan NEC. Christie. Proyektor DLP memiliki resolusi 1280×1024 atau setara dengan 1.3 megapiksel. Selain itu ada proyektor DCI. Proyektor DCI dibuat oleh perusahaan Digital Cinema Initiatives yang dibentuk pada Maret 2002 sebagai proyek bersama dari banyak studio gambar gerak. Proyektor ini memiliki dua jenis spesifikasi, yaitu 2K (2048×1080) atau setara 2.2 MP pada 24 atau 48 bingkai dan 4K (4096×2160) atau setara dengan 8.85 MP pada 24 bingkai per detik.

Teknologi penayangan sinema digital lainnya dibuat oleh perusahaan Sony dan diberi label teknologi "SXRD" . Proyektor-proyektor SXRD seperti SRXR210 dan SRXR220, menawarkan resolusi 4096x2160 (4K) dan memiliki piksel empat kali lebih banyak dari pada proyektor 2K. Proyektor sinema digital Sony juga memiliki harga yang kompetitif dengan proyektor DLP 2 K yang memiliki resolusi lebih rendah (2048x1080 atau setara dengan 2.2 megapiksel).








SUMBER

http://biyankati.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-dan-perkembangan-teknologi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinema_digital